Peristiwa Lupa Dalam Belajar
Dari pengalaman sehari-hari,
kita memiliki kesan seakan apa-apa yang kita alami dan kitapelajari tidak
seluruhnya tersimpan dalam akal kita. Padahal menurut teori kognitif apapun
yang kita alami dan kita pelajari, kalau memang sistem akal kita mengolahnya
dengan cara yang memadai, semuanya akan tersimpan dalam subsistem akal permanen
kita.
Akan tetapi, kenyataan yang
kita alami terasa bertolak belakang dengan teori itu. Acapkali terjadi, apa
yang kita pelajari dengan tekun justru sukar untuk diingat kembali dan mudah
terlupakan. Sebaliknya, tidak sedikit penglaman dan pelajaran yang kita tekuni
sepintas lalu mudah melekat dalam ingatan.
Lupa (forgetting)
ialah hilangnya kemempuan untuk membuat atau memproduksi kembali apa-apa yang
sebelumnya telah kita pelajari. Secara sederhana, Gulo (1982) dan Reber (1988)
mendefinisikan lupa sebagai ketidakmampuan mengenal atau mengingat sesuatu yang
pernah dipelajari atau dialami. Dengan demikian, lupa bukanlah peristiwa
hilangnya item informasi dan pengetahuan dari akal kita.
Dapatkah lupa dalam belajar
siswa diukur secara langsung? Wittig
(1981) menyimpulkan berdasarkan penelitiannya, peristiwa lupa yang
dialami seseorang tak mungkin dapat
diukur secara langsung. Sering terjadi, apa yang dinyatakan telah terlupakan
oleh seorang siswa justru ia katakan. Untuk memperjelas hal ini, perhatikan
contoh berikut:
Jika Anda meminta penjelasan
kepada seorang siswa, Diny misalnya, mengenai matteri pelaran tertentu dengan
perintah: “Diny, katakan semua yang telah kau lupakan mengenai materi pelajaran
itu!” Kemudian Diny menyebutkan hampir seluruh bagian pelajaran tersebut.
Lupakah Diny akan materi pelajaran itu? Jawabnya, tentu tidak. Sebab, perintah
anda sesungguhnya telah mengungkapkan apa-apa yang dia ingat. Hal lain yang tak
dapat ia katakan (yang sedikit itu), itulah yang mungkin terlupakan olehnya.
Apakah sesungguhnya yang
menyebabkan siswa anda lupa akan sebagian materi yang telah anda ajarkan? Pada
umumnya orang percaya bahwa lupa terutama disebabkan oleh lamanya tenggang
waktu antara saat terjadinya proses belajar sebuah materi dengan saat
pengungkapannya. Namun berdasarkan hasil-hasil penelitian, ternyata anggapan
seperti itu nyaris tak terbukti.
a.
Faktor-faktor Penyebab Lupa
Pertama, lupa dapat terjadi karena
anggapan gangguan konflik antara item-item informasi atau materi yang ada dalam
sistem memori siswa. Dalam interference theory (teori mengenai
gangguan), gangguan konflik ini terbagi menjadi dua macam, yaitu: 1) proactive
interference; 2) retroactive interference (Reber 1988;
Best,1989;Anderson, 1990)
Seorang
siswa akan mengalami gangguan proaktif apabila materi pelajaran lama yang sudah
tersimpan dalam subsistem akal permanennya mengganggu masuknya materi pelajaran
baru. Peristiwa ini bisa terjadi apabila siswa tersebut mempelajari sebuah
materi pelajaran yang sangat mirip dengan materi pelajaran yang telah
dikuasainya dalam tenggang waktu yang pendek. Dalam hal ini, materi yang baru
saja dipelajari akan sangat sulit diingat atau diproduksi kembali.
Sebaliknya,
seorang siswa akan mengalami gangguan retroaktif apabila materi pelajaran baru membawa konflik dan gangguan terhadap
pemanggilan kembali materi pelajaran lama yang telah lebih dahulu tersimpan
dalam subsistem akal permanen sistem
tersebut. Dalam hal ini, materi pelajaran lama akan sangat sulit diingat atau
diproduksi kembali. Dengan kata lain, siswa tersebut lupa akan materi pelajaran
lama itu.
Kedua, lupa dapat terjadi pada
seorang siswa karena adanya tekanan terhadap item yang telah ada baik sengaja
ataupun tidak. Penekanan ini terjadi karena beberapa kemungkinan:
1)
Karena informasi (berupa pengetahuan,
tanggapan, kesan, dan sebagainya) yang diterima siswa kurang menyenangkan,
sehingga ia dengan sengaja menekannya hingga ke alam ketidaksadaran;
2)
Karena item informasi yang baru secara otomatis
menekan item informasi yang telah ada,
jadi sama dengan fenomena retroaktif;
3)
Karena item informasi yang akan direproduksi (diingat
kembali) itu tertekan ke alam bawah sadar dengan sendirinya lantaran tidak
pernah dipergunakan.
Ketiga, lupa terjadi pada siswa
karena perubahan situasi lingkungan antara waktu belajar dengan waktu mengingat
kembali (Anderson, 1990). Jika seorang siswa hanya mengenal atau mempelajari
hewan jerapah atau kuda nil lewat gambar-gambar yang ada di sekolah misalnya,
maka kemungkinan ia akan lupa menyebut nama hewan-hewan tadi di dalam kebun
binatang.
Keempat,
lupa
terjadi karena perubahan sikap dan minat siswa terhadap proses dan situasi
belajar tertentu. Jadi, meskipun seorang siswa telah mengikuti proses
mengajar-belajar dengan tekun dan serius, tetapi karena sesuatu hal sikap dan
minat siswa tersebut menjadi sebaliknya (seperti karena ketidaksenangan kepad
guru) maka materi pelajaran itu akan mudah dilupakan.
Kelima,
menurut law
of disuse (Hilgard & Bower 1975), lupa dapat terjadi karena materi
pelajaran yang dikuasai tidak pernah digunakan atau dihafalkan siswa. Menurut
asumsi sebagian ahli, materi yang diperlakukan demikian dengan sendirinya akan
masuk ke alam bawah sadar atau mungkin juga bercampur aduk dengan materi
pelajaran baru.
Keenam, lupa tentu saja dapat
terjadi karena perubahan urat syaraf otak. Seorang siswa akan terserang penyakit seperti keracunan,
kecanduan alkohol, dan gegar otak akan kehilangan ingatan atas iitem-item
informasi yang ada dalam memori permanennya.
Meskipun
penyebab lupa itu banyak aneka ragamnya, yang paling penting untuk diperhatikan
para guru adalah faktor pertama yang meliputi gangguan proaktif dan retroaktif,
karena didukung oleh riset dan eksperimen. Mengenai faktor keenam, tentu saja
semua orang maklum.
Kecuali
gangguan proaktif dan retroaktif, ada satu lagi penemuan baru yang menyimpulkan
bahwa lupa dapat dialami seorang siswa apabila item informasi yang ia serap
rusak sebelum masuk ke memori permanennya. Item yang rusak (decay) itu
tidak hilang dan tetap diproses oleh sistem memori siswa tadi, tetapi terlalu
lemah untuk dipanggil kembali. Kerusakan item informasi tersebut mungkin
disebabkan karen tenggang waktu (delay) antara saat diserapnya item
informasi dengan saat proses pengkodean dan transformasi dalam memori jangka
pendek siswa tersebut (Best,1989; Anderson, 1990)
Apakah
materi pelajaran yang terlupakan oleh siswa benar-benar hilang dari ingatan
akalnya? Menurut pandangan para ahli psikologi kognitif, “tidak!” Materi
pelajaran itu masih terdapat dalam subsistem akal permanen siswa namun terlalu
lemah untuk dipanggil atau diingat kembali. Buktinya banyak siswa yang mengeluh
“kehilangan ilmu”, setelah melakukan relearning (belajar lagi) atau
mengikuti remedial teaching (pengajaran perbaikan) ternyata dapat
menunjukkan kinerja akademik sebelumnya. Hal ini bermakna bahwa relearning dan
remedial teaching berfungsi memperbaiki atau menguatkan item-item
informasi yang rusak atau lemah dalam memori para siswa tersebut, sehingga
mereka berhasil mencapai prestasi yang memuaskan.
b.
Kiat mengurangi Lupa dalam Belajar
Sebagai
seorang calon guru atau guru profesional dapatkah anda mencegah peristiwa lupa
yang sering dialami para siswa itu? Lupa itu manusiawi dan mungkin anda tak
akan mampu mencegahnya secara keseluruhan. Namun, sekedar berusaha mengurangi
proses terjadinya lupa yang sering dialami para siswa dapat anda lakukan dengan
berbagai kiat.
Kiat
terbaik untuk mengurangi lupa adalah dengan cara meningkatkan daya ingat akal
siswa. Banyak ragam kiat yang dapat dicoba siswa dalam meningkatkan daya
ingatnya, antara lain menurut Barlow (1985), Reber (1988), dan Anderson (1990),
sebagai berikut.
·
Overlearning
Overlearning
(belajar lebih) artinya upaya belajar yang melebihi batas penguasaan dasar atas
materi pelajaran tertentu. Overlearning terjadi apabila respons atau reaksi
tertentu muncul setelah siswa melakukan pembelajaran atas respons tersebut
dengan cara di luar kebiasaan. Banyak contoh yang dapat dipakai untuk
overlearning, antara lain pembacaan teks
Pancasila setiap hari Senin dan Sabtu memungkinkan ingatan siswa terhadap
materi PPKN lebih kuat.
·
Extra Study Time
Extra
study time (tambahan waktu belajar) ialah upaya penambahan alokasi waktu
belajar atau penambahan frekuensi (kekerapan) aktivitas belajar. Penambahan
alokasi waktu belajar materi tertentu berarti siswa menambah jam belajar,
misalnya dari satu jam menjadi satu setengah jam. Penambahan frekuensi belajar
berarti siswa meningkatkan kekerapan belajar materi tertentu, misalnya dari
sekali sehari menjadi dua kali sehari. Kiat ini dipandang cukup strategis
karena dapat melindungi memori dari kelupaan.
·
Mnemonic device
Mnemonic
device (muslihat
memori) yang sering juga hanya disebut mnemonic itu berarti kiat khusus yang
dijadikan “alat pengait” mental untuk memasukan item-item informasi ke dalam
sistem akal siswa. Muslihat mnemonic itu banyak ragamnya, tetapi yang paling
menonjol adalah sebagaimana terurai di bawah ini:
1.
Rima (Rhyme) yakni sajak yang dibuat
sedemikian rupa yang isinya terdiri atas kata dan istilah yang harus diingat
siswa. Sajak ini akan lebih baik pengaruhnya apabila diberi not-not sehingga dapat
dinyanyikan. Nyanyian anak-anak TK yang berisi pesan moral dapat diambil
sebagai penyusunan rima mnemonic.
2.
Singkatan, yakni terdiri atas huruf-huruf awal nama atau
istilah yang harus diingat siswa. Contoh: jika seorang siswa hendak mempermudah
mengingat nama Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim,dan Nabi Musa, dapat disingkat
menjadi ANIM. Pembuatan singkatan-singkatan seyogianya dilakukan sedemikian
rupa sehingga menarik dan memiliki kesan tersendiri.
3.
Sistem kata pasak (peg word system),
yakni sejenis teknik mnemonic yang menggunakan komponen-komponen yang
sebelumnya teah dikuasai sebagai pasak (paku) pengait memori baru. Kata
komponen pasak ini dibentuk berpasangan seperti merah-saga, panas-api.
Kata-kata ini berguna untuk mengingat kata dan istilah yang memiliki watak yang
sama seperti: darah, lipstik; pasangan langit dan bumi; neraka, dan
kata/istilah lain yang memiliki kesamaan watak (warna, rasa, dan seterusnya)
4.
Metode Losai (Method of Loci), yaitu
kiat mnemonic yang menggunakan tempat-tempat khusus dan terkenal sebagai sarana
penempatan kata dan istilah tertentu yang harus diingat siswa. Kata “loci”
sendiri adalah jamak dari kata “locus” artinya tempat. Dalam hal ini, nama-nama
kota, jalan, gedung terkenal dapat dipakai untuk menempatkan kata dan istilah
yang kurang lebih relevan dalam arti memiliki kemiripan ciri dan keadaan.
Contoh: nama ibukota Amerika Serikat untuk mengingat nama presiden pertama
negara itu (George Washington); dan gedung bundar untuk mengingat nama jaksa
agung Indonesia. Apabila guru memerlukan siswa menyebut nama-nama tadi, ia
dapat menyuruh siswa tersebut “bepergian” ke tempat-tempat tersebut.
5.
Sistem kata kunci (key word system).
Kiat mnemonic yang satu ini relatif tergolong baru dibandingkan dengan
kiat-kiat mnemonic lainnya. Kiat ini mula-mula dikembangkan pada tahun 1975
oleh dua pakar psikologi, Raugh dan Atkinson (Barlow, 1985). Sistem kata kunci
biasanya direkayasa secara khusus untuk mempelajari kata dan istilah asing, dan
konon cukup efektif untuk pengajaran bahasa asing, Inggris misalnya. Sistem ini
berbentuk daftar kata yang terdiri atas unsur-unsur sebagai berikut: 1.
Kata-kata asing; 2. Kata-kata kunci, yakni kata-kata bahasa lokal yang paling
kurang suku pertamanya memiliki suara/lafal yang mirip dengan kata yang dipelajari;
3. Arti-arti kata asing tersebut.
Untuk memperjelas kiat
mnemonic tadi, di bawah ini dibuatkan sebuah daftar contoh mnemonic
Kata inggris
|
Kata Kunci
|
Arti
|
Astute
Butterfly
Chaos
Difficult
Eyesight
Fussy
Gamble
Hasty
Insane
Jumpy
|
Astuti
Baterai
Kaos
Dipukul
Aisyah
Fauzy
Gembel
Hesti
Insan
Jampi
|
Cerdik
Kupu-kupu
Kekacauan
Sukar
Penglihatan
Cerewet
Berjudi
Tergesa-gesa
Sakit jiwa
Gugup
|
Referensi:
MUHIBBIN SYAH, M.Ed, PSIKOLOGI BELAJAR, CET.2,
JAKARTA: PT RAJA GRAFINDO PERSADA, 2003, HAL.167-175.
No comments:
Post a Comment