Translate

Friday, March 21, 2014

Peristiwa Lupa dalam Belajar

Peristiwa Lupa Dalam Belajar

Dari pengalaman sehari-hari, kita memiliki kesan seakan apa-apa yang kita alami dan kitapelajari tidak seluruhnya tersimpan dalam akal kita. Padahal menurut teori kognitif apapun yang kita alami dan kita pelajari, kalau memang sistem akal kita mengolahnya dengan cara yang memadai, semuanya akan tersimpan dalam subsistem akal permanen kita.
Akan tetapi, kenyataan yang kita alami terasa bertolak belakang dengan teori itu. Acapkali terjadi, apa yang kita pelajari dengan tekun justru sukar untuk diingat kembali dan mudah terlupakan. Sebaliknya, tidak sedikit penglaman dan pelajaran yang kita tekuni sepintas lalu mudah melekat dalam ingatan.
Lupa (forgetting) ialah hilangnya kemempuan untuk membuat atau memproduksi kembali apa-apa yang sebelumnya telah kita pelajari. Secara sederhana, Gulo (1982) dan Reber (1988) mendefinisikan lupa sebagai ketidakmampuan mengenal atau mengingat sesuatu yang pernah dipelajari atau dialami. Dengan demikian, lupa bukanlah peristiwa hilangnya item informasi dan pengetahuan dari akal kita.
Dapatkah lupa dalam belajar siswa diukur secara langsung? Wittig  (1981) menyimpulkan berdasarkan penelitiannya, peristiwa lupa yang dialami seseorang tak  mungkin dapat diukur secara langsung. Sering terjadi, apa yang dinyatakan telah terlupakan oleh seorang siswa justru ia katakan. Untuk memperjelas hal ini, perhatikan contoh berikut:
Jika Anda meminta penjelasan kepada seorang siswa, Diny misalnya, mengenai matteri pelaran tertentu dengan perintah: “Diny, katakan semua yang telah kau lupakan mengenai materi pelajaran itu!” Kemudian Diny menyebutkan hampir seluruh bagian pelajaran tersebut. Lupakah Diny akan materi pelajaran itu? Jawabnya, tentu tidak. Sebab, perintah anda sesungguhnya telah mengungkapkan apa-apa yang dia ingat. Hal lain yang tak dapat ia katakan (yang sedikit itu), itulah yang mungkin terlupakan olehnya.
Apakah sesungguhnya yang menyebabkan siswa anda lupa akan sebagian materi yang telah anda ajarkan? Pada umumnya orang percaya bahwa lupa terutama disebabkan oleh lamanya tenggang waktu antara saat terjadinya proses belajar sebuah materi dengan saat pengungkapannya. Namun berdasarkan hasil-hasil penelitian, ternyata anggapan seperti itu nyaris tak terbukti.
a.  Faktor-faktor Penyebab Lupa
Pertama, lupa dapat terjadi karena anggapan gangguan konflik antara item-item informasi atau materi yang ada dalam sistem memori siswa. Dalam interference theory (teori mengenai gangguan), gangguan konflik ini terbagi menjadi dua macam, yaitu: 1) proactive interference; 2) retroactive interference (Reber 1988; Best,1989;Anderson, 1990)
Seorang siswa akan mengalami gangguan proaktif apabila materi pelajaran lama yang sudah tersimpan dalam subsistem akal permanennya mengganggu masuknya materi pelajaran baru. Peristiwa ini bisa terjadi apabila siswa tersebut mempelajari sebuah materi pelajaran yang sangat mirip dengan materi pelajaran yang telah dikuasainya dalam tenggang waktu yang pendek. Dalam hal ini, materi yang baru saja dipelajari akan sangat sulit diingat atau diproduksi kembali.
Sebaliknya, seorang siswa akan mengalami gangguan retroaktif apabila materi pelajaran  baru membawa konflik dan gangguan terhadap pemanggilan kembali materi pelajaran lama yang telah lebih dahulu tersimpan dalam subsistem akal permanen  sistem tersebut. Dalam hal ini, materi pelajaran lama akan sangat sulit diingat atau diproduksi kembali. Dengan kata lain, siswa tersebut lupa akan materi pelajaran lama itu.
Kedua, lupa dapat terjadi pada seorang siswa karena adanya tekanan terhadap item yang telah ada baik sengaja ataupun tidak. Penekanan ini terjadi karena beberapa kemungkinan:
1)  Karena informasi (berupa pengetahuan, tanggapan, kesan, dan sebagainya) yang diterima siswa kurang menyenangkan, sehingga ia dengan sengaja menekannya hingga ke alam ketidaksadaran;
2)  Karena item informasi yang baru secara otomatis menekan item informasi yang telah ada,  jadi sama dengan fenomena retroaktif;
3)  Karena item informasi yang akan direproduksi (diingat kembali) itu tertekan ke alam bawah sadar dengan sendirinya lantaran tidak pernah dipergunakan.
Ketiga, lupa terjadi pada siswa karena perubahan situasi lingkungan antara waktu belajar dengan waktu mengingat kembali (Anderson, 1990). Jika seorang siswa hanya mengenal atau mempelajari hewan jerapah atau kuda nil lewat gambar-gambar yang ada di sekolah misalnya, maka kemungkinan ia akan lupa menyebut nama hewan-hewan tadi di dalam kebun binatang.
Keempat, lupa terjadi karena perubahan sikap dan minat siswa terhadap proses dan situasi belajar tertentu. Jadi, meskipun seorang siswa telah mengikuti proses mengajar-belajar dengan tekun dan serius, tetapi karena sesuatu hal sikap dan minat siswa tersebut menjadi sebaliknya (seperti karena ketidaksenangan kepad guru) maka materi pelajaran itu akan mudah dilupakan.
Kelima, menurut law of disuse (Hilgard & Bower 1975), lupa dapat terjadi karena materi pelajaran yang dikuasai tidak pernah digunakan atau dihafalkan siswa. Menurut asumsi sebagian ahli, materi yang diperlakukan demikian dengan sendirinya akan masuk ke alam bawah sadar atau mungkin juga bercampur aduk dengan materi pelajaran baru.
Keenam, lupa tentu saja dapat terjadi karena perubahan urat syaraf otak. Seorang  siswa akan terserang penyakit seperti keracunan, kecanduan alkohol, dan gegar otak akan kehilangan ingatan atas iitem-item informasi yang ada dalam memori permanennya.
Meskipun penyebab lupa itu banyak aneka ragamnya, yang paling penting untuk diperhatikan para guru adalah faktor pertama yang meliputi gangguan proaktif dan retroaktif, karena didukung oleh riset dan eksperimen. Mengenai faktor keenam, tentu saja semua orang maklum.
Kecuali gangguan proaktif dan retroaktif, ada satu lagi penemuan baru yang menyimpulkan bahwa lupa dapat dialami seorang siswa apabila item informasi yang ia serap rusak sebelum masuk ke memori permanennya. Item yang rusak (decay) itu tidak hilang dan tetap diproses oleh sistem memori siswa tadi, tetapi terlalu lemah untuk dipanggil kembali. Kerusakan item informasi tersebut mungkin disebabkan karen tenggang waktu (delay) antara saat diserapnya item informasi dengan saat proses pengkodean dan transformasi dalam memori jangka pendek siswa tersebut (Best,1989; Anderson, 1990)
Apakah materi pelajaran yang terlupakan oleh siswa benar-benar hilang dari ingatan akalnya? Menurut pandangan para ahli psikologi kognitif, “tidak!” Materi pelajaran itu masih terdapat dalam subsistem akal permanen siswa namun terlalu lemah untuk dipanggil atau diingat kembali. Buktinya banyak siswa yang mengeluh “kehilangan ilmu”, setelah melakukan relearning (belajar lagi) atau mengikuti remedial teaching (pengajaran perbaikan) ternyata dapat menunjukkan kinerja akademik sebelumnya. Hal ini bermakna bahwa relearning dan remedial teaching berfungsi memperbaiki atau menguatkan item-item informasi yang rusak atau lemah dalam memori para siswa tersebut, sehingga mereka berhasil mencapai prestasi yang memuaskan.
b.  Kiat mengurangi Lupa dalam Belajar
Sebagai seorang calon guru atau guru profesional dapatkah anda mencegah peristiwa lupa yang sering dialami para siswa itu? Lupa itu manusiawi dan mungkin anda tak akan mampu mencegahnya secara keseluruhan. Namun, sekedar berusaha mengurangi proses terjadinya lupa yang sering dialami para siswa dapat anda lakukan dengan berbagai kiat.
Kiat terbaik untuk mengurangi lupa adalah dengan cara meningkatkan daya ingat akal siswa. Banyak ragam kiat yang dapat dicoba siswa dalam meningkatkan daya ingatnya, antara lain menurut Barlow (1985), Reber (1988), dan Anderson (1990), sebagai berikut.
·         Overlearning
Overlearning (belajar lebih) artinya upaya belajar yang melebihi batas penguasaan dasar atas materi pelajaran tertentu. Overlearning terjadi apabila respons atau reaksi tertentu muncul setelah siswa melakukan pembelajaran atas respons tersebut dengan cara di luar kebiasaan. Banyak contoh yang dapat dipakai untuk overlearning, antara  lain pembacaan teks Pancasila setiap hari Senin dan Sabtu memungkinkan ingatan siswa terhadap materi PPKN lebih kuat.
·         Extra Study Time
Extra study time (tambahan waktu belajar) ialah upaya penambahan alokasi waktu belajar atau penambahan frekuensi (kekerapan) aktivitas belajar. Penambahan alokasi waktu belajar materi tertentu berarti siswa menambah jam belajar, misalnya dari satu jam menjadi satu setengah jam. Penambahan frekuensi belajar berarti siswa meningkatkan kekerapan belajar materi tertentu, misalnya dari sekali sehari menjadi dua kali sehari. Kiat ini dipandang cukup strategis karena dapat melindungi memori dari kelupaan.
·         Mnemonic device
Mnemonic device (muslihat memori) yang sering juga hanya disebut mnemonic itu berarti kiat khusus yang dijadikan “alat pengait” mental untuk memasukan item-item informasi ke dalam sistem akal siswa. Muslihat mnemonic itu banyak ragamnya, tetapi yang paling menonjol adalah sebagaimana terurai di bawah ini:
1.  Rima (Rhyme) yakni sajak yang dibuat sedemikian rupa yang isinya terdiri atas kata dan istilah yang harus diingat siswa. Sajak ini akan lebih baik pengaruhnya apabila diberi not-not sehingga dapat dinyanyikan. Nyanyian anak-anak TK yang berisi pesan moral dapat diambil sebagai penyusunan rima mnemonic.
2.  Singkatan, yakni terdiri atas huruf-huruf awal nama atau istilah yang harus diingat siswa. Contoh: jika seorang siswa hendak mempermudah mengingat nama Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim,dan Nabi Musa, dapat disingkat menjadi ANIM. Pembuatan singkatan-singkatan seyogianya dilakukan sedemikian rupa sehingga menarik dan memiliki kesan tersendiri.
3.  Sistem kata pasak (peg word system), yakni sejenis teknik mnemonic yang menggunakan komponen-komponen yang sebelumnya teah dikuasai sebagai pasak (paku) pengait memori baru. Kata komponen pasak ini dibentuk berpasangan seperti merah-saga, panas-api. Kata-kata ini berguna untuk mengingat kata dan istilah yang memiliki watak yang sama seperti: darah, lipstik; pasangan langit dan bumi; neraka, dan kata/istilah lain yang memiliki kesamaan watak (warna, rasa, dan seterusnya)
4.  Metode Losai (Method of Loci), yaitu kiat mnemonic yang menggunakan tempat-tempat khusus dan terkenal sebagai sarana penempatan kata dan istilah tertentu yang harus diingat siswa. Kata “loci” sendiri adalah jamak dari kata “locus” artinya tempat. Dalam hal ini, nama-nama kota, jalan, gedung terkenal dapat dipakai untuk menempatkan kata dan istilah yang kurang lebih relevan dalam arti memiliki kemiripan ciri dan keadaan. Contoh: nama ibukota Amerika Serikat untuk mengingat nama presiden pertama negara itu (George Washington); dan gedung bundar untuk mengingat nama jaksa agung Indonesia. Apabila guru memerlukan siswa menyebut nama-nama tadi, ia dapat menyuruh siswa tersebut “bepergian” ke tempat-tempat tersebut.
5.  Sistem kata kunci (key word system). Kiat mnemonic yang satu ini relatif tergolong baru dibandingkan dengan kiat-kiat mnemonic lainnya. Kiat ini mula-mula dikembangkan pada tahun 1975 oleh dua pakar psikologi, Raugh dan Atkinson (Barlow, 1985). Sistem kata kunci biasanya direkayasa secara khusus untuk mempelajari kata dan istilah asing, dan konon cukup efektif untuk pengajaran bahasa asing, Inggris misalnya. Sistem ini berbentuk daftar kata yang terdiri atas unsur-unsur sebagai berikut: 1. Kata-kata asing; 2. Kata-kata kunci, yakni kata-kata bahasa lokal yang paling kurang suku pertamanya memiliki suara/lafal yang mirip dengan kata yang dipelajari; 3. Arti-arti kata asing tersebut.
Untuk memperjelas kiat mnemonic tadi, di bawah ini dibuatkan sebuah daftar contoh mnemonic


Kata inggris
Kata Kunci
Arti
Astute
Butterfly
Chaos
Difficult
Eyesight
Fussy
Gamble
Hasty
Insane
Jumpy
Astuti
Baterai
Kaos
Dipukul
Aisyah
Fauzy
Gembel
Hesti
Insan
Jampi

Cerdik
Kupu-kupu
Kekacauan
Sukar
Penglihatan
Cerewet
Berjudi
Tergesa-gesa
Sakit jiwa
Gugup


Referensi:

MUHIBBIN SYAH, M.Ed, PSIKOLOGI BELAJAR, CET.2, JAKARTA: PT RAJA GRAFINDO PERSADA, 2003, HAL.167-175.

No comments:

Post a Comment