Translate

Friday, February 13, 2015

Apakah Autisme Itu?

                                        APAKAH YANG DIMAKSUD DENGAN AUTISME 


Autisme terjadi pada 5 dari setiap 10.000 kelahiran, di mana jumlah penderita laki-laki empat kali lebih besar dibandingkan penderita wanita. Meskipun demikian, bila kaum wanita mengalaminya, maka penderitaannya akan lebih parah dibandingkan kaum pria. Gejala-gejala autisme mulai tampak sejak masa yang paling awal pada kehidupan mereka. Gejala-gejala tersebut tampak ketika bayi menolak sentuhan orangtuanya, tidak merespon kehadiran ornagtuanya, dan melakukan kebiasaan-kebiasaan lainnya yang tidak dilakukan oleh bayi-bayi normal pada umumnya.
Ketika memasuki umur di mana mereka seharusnya mulai mengucapkan beberapa kata, misalnya, ayah, ibu, dan seterusnya, balita ini tidak mampu melakukannya. Di samping itu, ia juga mengalami keterlambatan dalam beberapa perkembangan kemampuan yang lainnya. Inilah waktu yang tepat bagi orangtua untuk mulai menyadari bahwa ada kelainan yang dialami anak mereka. Biasanya balita tersebut suudah mengalami keterlambatan perkembangan kemampuan selama 3 tahun ketika dia dikonsultasikan ke dokter oleh orangtuanya karena mengalami gejala-gejala autisme sampai kemudian di didiagnosis mengidap autisme oleh dokter tersebut, dan diagnosis ini umum diberikan ketika balita itu memasuki umur 5 tahun. Usia dari seorang anak juga berpengaruh terhadap tingkat keparahan yang tampak dari gangguan itu. Bila mengevakuasi kebiasaan penderita autisme, kita juga harus mempertimbankan usia mereka. Pada usia 2-5 tahun, mereka cenderung memilki kebiasaan yang buruk, tetapi tatkala mennginjak usia 6-10 tahun, perilaku mereka akan membaik. Tetapi, perilaku itu akan cenderung memburuk kembali saat mereka memasuki usia remaja serta dewasa, dan selanjutnya akan kembali mambaik seiring dengan bertambah tuanya usia mereka. Sebagian besar penderita autisme mengalami gejala-gejala negatif skizofrenia, seperti menarik diri dari lingkungan, serta lemah dalam berfikir ketika manginjak dewasa. 
Sehubungan dengan aspek sosial kemasyarakatan, disebutkan bahwa anak penderita autisme terbiasa untuk sibuk dengan dirinya sendiri ketimbang bersosialisasi dengan lingkuangannya. Mereka juga terobsesi denganbenda-benda mati. Selain itu, anak-anak penderita autisme tidak memiliki kemampuan untuk menjalin hubungan persahabatan, menunjukan rasa empati, serta memahami apa yang diharapkan oleh orang lain dalam beragam situasi sosial. Bila mereka berada satu ruangan dengan orang lain, penderita autisme akan cenderung menyibukan diri dengan aktivitas yang melibatkan diri mereka sendiri, yang umumnya dengan benda-benda mati. Ketika dipaksa bergabung dengan yang lainnya, mereka akan kesulitan untuk melakukan tatap mata atau berkomunikasi secara langsung dengan orang lain. Ini menentukan pula jenis permainan mereka. Mereka condong memainkan permainkan yang dapat dilakukan seorang diri. Tidak terbesit sedikitpun untuk bergabung dengan yang lainnya. Permainan mereka cenderung lebih sederhana, kurang kreatif, serta mempergunakan lebih sedikit mainan dibandingkan anak normal. Di samping itu, jika mereka sedang bermain dengan mainan mereka, perilaku mereka cenderung agresif atau menggerak-gerakkan badannya. Mereka juga tidak sanggup menghentikan permainannya bila diminta oleh orang lain. Anak penderita autisme hanya memusatkan perhatian pada apa yang dilakukan oleh tangannya saja. Mencoba untuk mengalihkan perhatian mereka saat bermain sebelum mereka benar-benar siap hanya akan mengakibatkan krisis emosional. Permasalahan yang sama juga mungkin timbul sebagai akibat sesuatu yang sangat sepele, seperti menambahkan suatu perabot baru di rumah atau mengubah aktivitas rutin mereka. Pada sisi lain, pikiran mereka mudah kacau serta kerap mengalami kesulitan dalam memusatkan perhatian. Mereka punya masalah, baik permasalahan emosionalmaupun beragam akibat pada pola perilaku mereka. Ditinjau dari segi perilaku, anak-anak penderita autisme cenderung untuk melukai dirinya sendiri, tidak percaya diri, bersikap agresif, menanggapi secara kurang atau bahkan berlebihan terhadap suatu stimuli eksternal, dan menggerak-gerakkan tubuhnya secara tidak wajar. Mereka mungkin melakukan tindakan-tindakan tidak wajar, seperti menepuk-nepukkan tangan mereka, mengeluarkan suara yang diulang-ulang, atau gerakan tubuh yang tidak dimengerti seperti menggigit, memukul, atau menggaruk-garukkan tubuh mereka sendiri. Kebanyakan, tindakan ini mungkin berasal dari kurangnya kemampuan mereka untuk menyampaikan keinginan serta harapan kepada orang lain dan juga sebagai usaha untuk melepaskan diri dari ketegangan. Jika kita memperhatikan kemampuan berbicara para penderita autisme itu, maka separo anak-anak penderita autis tidak memiliki kemampuan itu. Sementara itu, yang lainnya hanya dapat mengeluarkan suara gema-gema saja dari tenggorokan mereka. Usia 5 tahun umumnya dipandang sebagai titik tolak penting bagi kemampuan berbicara ini ternyata tidak sebanding dengan kemampuan kognitif mereka. Sebagian besar penderita autisme, yakni 75% termasuk dalam kategori keterlambatan mental. Tetapi sejumlah 10% dari mereka malah dapat digolongkan sebagai orang jenius. Orang-orang seacam ini memiliki kemapuan luar biasa dalam berhitung, musik atau seni. Pandangan umum terhadap oarang jenius ini digambarkan dalam film Rainman yang diperankan oleh Dustin Hoffman. Meskipun demikian, telah dipertanyakan apakah jumlah orang-orang yang menderita keterlambatan mental ini sesungguhnya lebih tinggi atau tidak, karena adanya pengaruh gejala-gejala autisme lainnya selama proses pengujian. Hasil pengujian sering kali memperlihatkan adanya gejala-gejala psikiatrik dan medis lainnya. Autisme hadir selama sejumlah gangguan psikiatrik lainnya, seperti sindrom Tourettes, obsesif-kompulsif, dan gangguan bipolar. Terdapat sejumlah informasi sehubungan dengan gejala-gejala yang menyertai gangguan autisme: 64% memiliki kemampuan untuk memusatka perhatian yang buruk, 43-88% memusatkan perhatian pada hall-hal ganjil, 37% memperlihatkan fenomena obsesif, 16-6% memperlihatkan ledakan-ledakan emosional atau ritualistik, 50-89% mengucapkan kata-kata stereotip, 68-74% memperlihatkan manerisme stereotip, 17-74% mengalami rasa takut yang tidak wajar, 9-44%memiliki gejolak perasaan depresif, agitatif, serta tidak wajar, 11% mengalami gangguan tidur, 22-43 pernah melukai dirinya sendiri, dan 8% gemar menggerak-gerakkan badannya. Berikut ini adalah kondisi medis yang dapat menyebabkan autisme: Tuberous sclerosis, kromosom X, kelumpuhan karena luka pada otak, rubella bawaan, lemahnya kemapuan indriawi, dan sindrom Downs. Selain itu, sekitar 25% penderita autisme juga menderita penyakit ayan. Tingkat gangguan kemampuan indriawi, seperti buta dan tuli, sangat umum terjadi pada penderita autisme, atau sebaliknya, kepekaan berlebihan dalam melihat, mendengar, menyentuh, membaui, serta merasakan sesuatu. Terlepas dari gejala-gejala nyata autisme yang diderita seseorang, masih terdapat perdebatan sehubungan dengan diagnosis pada tingkatan yang tidak begitu parah. Batas-batas diagnosis autisme masih samar-samar sehingga keberadaannya lebih kearah suatu tingkatan. Banyak anak (dan juga orang dewasa) yang juga memiliki gejala-gejala lebih ringan, yang beberapa diantaranya dapat dikategorikan berdasarkan metode diagnosis APA sebagai penderita gangguan perkembangan parah yang belum diperinci secara pasti. Pada sebagian kasus, penderita autisme ringan sulit dibedakan dengan penderita gangguan kepribadian, seperti schizoid serta pemilik kepribadian obsesif atau bahkan dari orang orang yang bertingkah eksentrik dan tak wajar. Terdapat beragam pendekatan terapi untuk membantu mereka, mulai dari obat-obatan hingga makanan tambahan berupa vitamin dengan pendukung dan penganjurannya masing-masing. Namun, tidak satu pun metode terapi ini yang dapat membantu setiap orang.