Translate

Thursday, October 24, 2013

Metode pembelajaran berbasis Hadis



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar belakang Masalah
Pengajaran Hadits merupakan bagian dari bidang pengajaran agama Islam, baik di madrasah maupun di sekolah. Pengajaran Hadits merupakan suatu bidang dari pengajaran agama Islam yang berisi teks bertulis Arab yang menyampaikan sesuatu yang di sandarkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Sesuatu yang di sandarkan kepada Nabi Muhammad sebagai materi hadits dapat berupa  apa-apa yang pernah di sabdakan, di lakukan, dan disetujui/disepakati Nabi Muhammad, serta informasi yang di sampaikan para sahabat tentang sifat-sifat Nabi SAW. Dengan kata lain, pengajaran hadist terkait dengan empat unsur yang bersumber dari Nabi SAW dan unsur tersebut menjadi muatan materi pengajaran hadits yang dalam kitab hadist induk, sekarang sudah di kemas dengan periwayat (sanad), matan, perawi hadits.[1]
BAB II
Kajian teori
Salah satu kelebihan Nabi Muhammad dari siapapun yang lahir di dunia ini adalah otoritasnya sebagai penjelas lebih lanjut tentang apa yang ada dalam Al-Qur’an. Betapa pentingnya penjelasan dan penjabaran Nabi SAW yakni hadits yang menjadi sumber kedua ajaran Islam dan menjadi kajian serius dikalangan kaum terpelajar Islam bahkan menjadi suatu bidang ilmu yang terus mencari kalimat mana yang sesungguhnya yang betul-betul bersumber dari manusia pilihan itu.[2] Pengajaran hadits mirip dengan pengajaran Al-Qur’an/tafsir. Perbedaanya terletak pada cara penyampaian dan materinya. Pengajaran hadits dalam menyampaikan kepada peserta didik perlu memperhatikan tujuan yang hendak dicapai, ruang lingkup materi yang diajarkan, kitab-kitab hadits yang layak dipergunakan, metode mengajar yang tepat serta penyampaiannya harus sejalan dengan kecenderungan zaman yang selalu berkembang.[3]
BAB III
PEMBAHASAN
A.     Pengertian Hadist
Hadits Menurut bahasa , berarti al-jadid (sesuatu yang baru), al-qarib ( sesuatu yang dekat, belum lama terjadi), al-khabar (suatu berita).[4]
Menurut etimologi, hadist adalah jalan dan cara yang merupakan kebiasaan Nabi Muhammad yang baik atau jelek.[5]
Menurut istilah, hadits adalah segala sesuatu yang dinisbahkan kepada Nabi SAW baik ucapan, perbuatan, ketetapan, sifat diri atau sifat pribadi atau yang dinisbahkan kepada sahabat  atau tabi’in.[6] Hadits yang disandarkan kepada Nabi Muhammad disebut hadits marfu’, jika disandarkan kepada sahabat disebut hadits mauquf dan jika disandakan kepada tabi’in disebut hadits maqtu’.[7]
Adapun menurut istilah, pengertian hadits oleh para ulama dirumuskan sesuai sudut pandang keilmuan dari ahli masing-masing, diantaranya:
1.         Menurut kalangan muhadditsin, hadits ialah perkataan, perbuatan,taqrir/persetujuan/penetapan dan hal ihwal/penafsiran Nabi SAW.
2.         Menurut kalangan ahli ushul Fiqh, hadits ialah perkataan-perkataan, perbuatan-perbuatan, taqrir-taqrir Nabi SAW khususnya berkaitan dengan penetapan hukum syara’.
Dalam kenyataan yang kita lihat sekarang, hadist merupakan teks ucapan Nabi SAW, atau ucapan sahabat tentang apa yang dilihat atau di dengar dari Nabi SAW. Teks itu, diriwayatkan oleh para sahabat atau oleh tabi’in sampai kepada perawi terakhir yang mendapat ijazah untuk meriwayatkan hadits, seperti AL-Bukhari, Muslim, Abu Daud, Turmudzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah.[8]
Para muhadditsin menciptakan istilah-istilah untuk unsur-unsur hadits diantaranya:
a.       Rawi adalah orang yang menyampaikan atau menuliskan dalam suatu kitab apa-apa yang pernah didengar dan diterimanya dari gurunya.
b.      Matan adalah kalam atau materi berita yang diover oleh sanad yang terakhir baik pembicaraan dari sabda Rasulullah,sahabat ataupun para tabi’in.
c.       Sanad adalah jalan yang dapat menghubungkan antara rawi mengenai matan hadits kepada Rasulullah.[9]
B.     Metode, Materi Dan Ruang Lingkup Pengajaran Hadits
Metode (cara) mengajar hadits hampir sama dengan mengajar Al-Qur’an dan Tafsir. Bedanya hadits tidak perlu dibaca dengan memakai lagu dan kalimat-kalimatnya biasanya lebih pendek. Dalam mengajar hadits, guru dapat menggunakan beberapa metode mengajar secara bervariasi serta prosedurnya. [10]Adapun metode yang dipakai antara lain:
1.    Metode ceramah
Metode ceramah adalah metode dengan memberikan penjelasan tentang sebuah materi. Biasa dilakukan didepan beberapa orang peserta didik. Metode ini menggunakan bahasa lisan. Peserta didik biasanya duduk sambil mendengarkan penjelasan materi disampaikan pendidik. Metode ini sering digunakan Rasulullah SAW, terutama pada saat beliau berkhutbah sebelum melaksanakan salat jum’at dan ketika turun wahyu yang memerintahkan untuk dakwah secara terang-terangan.
Metode ceramah sifatnya lebih monolog, komunikasi satu arah kurang mengaktifkan logika lawan bicara. Karenya, metode ini hendaknya dibarengi dengan metode lainnya agar lebih hidup, dan memiliki nilai lebih dalam upaya penyampaian informasi kepada peserta didik.
2.    Metode Tanya jawab
Metode Tanya jawab ialah suatu cara mengajar dimana seorang guru mengajukan beberapa pertanyaan kepada peserta didik tentang bahan pelajaran yang telah diajarkan atau bacaan yang telah mereka baca sambil memperhatikan proses berfikir diantara peserta didik. Guru mengharapkan dari peserta didik jawaban yang tepat dan berdasarkan fakta, apabila peserta didik tidak menjawabnya barulah guru memberikan jawabannya. Rasulullah juga pernah mempergunakan metode Tanya jawab; misalnya Tanya jawab antara Rasulullah dengan Jibril, ketika Jibril menguji Rasul tentang iman, Islam dan Ihsan.
3.    Metode diskusi
Diskusi adalah tukar pikiran antara dua orang atau lebih untuk menyelesaikan suatu persoalan. Secara umum diskusi adalah suatu proses yang melibatkan dua orang atau lebih individu yang berintegrasi secara verbal dan saling berhadapan muka mengenai tujuan atau sasaran yang sudah tertentu melalui tukar menukar informasi, mempertahankan pendapat, atau pemecahan masalah. Metode ini sering digunakan Rasulullah SAW bersama para sahabat terutama untuk mencari kata sepakat.
Rasulullah SAW adalah orang yang paling banyak berdiskusi, meskipun pada dasarnya beliau memiliki wewenang untuk membuat keputusan sendiri. Tetapi, beliau tidak merasa bosan bahkan sering mengadakan diskusi dengan para sahabat, apabila ada persoalan bersama.
4.                  Metode demonstrasi
Demonstrasi dalam pengajaran dipakai untuk menggambarkan suatu cara mengajar yang pada umumnya penjelasan verbal dengan suatu kerja fisik atau pengoperasian peralatan barang atau benda. Kerja fisik itu telah dilakukan atau peralatan itu telah dicoba terlebih dahulu sebelum didemonstrasikan. Orang yang mendemonstrasikan mempertunjukkan sambil menjelaskan tentang sesuatu yang didemonstrasikan.
Metode demonstrasi yang diterapkan Rasulullah SAW banyak terlihat terutama dalam menjelaskan masalah ibadah, seperti ibadah salat, cara berwudhu, manasik haji. Dengan demikian pemahaman para sahabat lebih mantap. Metode demonstrasi membutuhkan kepiwaian seorang pendidik. Karena membutuhkan keterampilan yang memadai terlebih dahulu, sebelum pendidik menerapkannya.
5.      Metode Keteladanan (al-Uswat al-Hasanah)
Uswat hasanah artinya contoh yang baik, suri teladan. Dalam al-Qur’an terdapat ayat yang menjelaskan tentang keteladanan. Dalam hal ini Nabi Muhammad SAW sebagai pribadi yang paling sempurna dalam mengaktualisasikan al-Qur’an dalam realitas kehidupan. Imam Qarafi, sebagai dikutip M. Quraish Shihab, mengatakan bahwa eksistensi Muhammad SAW dapat berperan sebagai rasul, mufti, hakim agung, pemimpin masyarakat, dan manusia yang memiliki kekhususan.
Metode keteladanan ialah menunjukkan tindakan terpuji bagi peserta didik, dengan harapan agar mau mengikuti tindakan terpuji tersebut. Keteladanan pendidik bagi peserta didik adalah dengan menampilkan al-akhlak al-mahmudat, yakni seluruh tindakan terpuji, seperti tawadhu’, sabar, ikhlas, jujur dan meninggalkan al-akhlak al-majmumat, akhlak tercela.[11]

Materi hadits untuk bahan pengajaran dimadrasah dan sekolah pendidik harus memilih yang paling penting sesuai dengan yang akan diketengahkan dan sesuai pokok masalah materi pengajaran, karena tidak mungkin hadits yang begitu banyak disajikan secara keseluruhan. Agar pengajaran hadits disekolah berjalan tepat mencapai tujuan yang digariskan maka materi pengajaran disesuaikan dengan GBPP, jika pengajaran pada madrasah salafi atau pesantren materi pengajaran hadits bersifat menyelesaikan suatu bahasan kitab seperti Bulughul Maram.
Ruang lingkup pengajaran hadits, bergantung pada tujuan pengajaran. Biasanya pada suatu tingkatan perguruan telah dimuat kurikulum yang telah dilengkapi dengan GBPPnya. Pada tingkatan dasar, pengajaran sudah dianggap cukup dengan memberi terjemah serta penjelasan ringkas yang memuat contoh-contoh. Memasuki tingkat menengah dan seterusnya, pembahasan dan penjelasannya perlu semakin luas sehingga tampak letak batas-batas perbedaan masalah yang dibicarakan pada masing-masing tingkatan.[12]
C.     Cara Mengetahui Status Hadits
Mengetahui status hadits, sangat perlu menambah keyakinan peserta didik akan keabsahan ajaran Islam yang diterimanya, khususnya nilai kehujahan hadits sebagai sumber agama Islam kedua setelah Al-Qur’an. Perlunya mengetahui status hadits terkait dengan kenyataan historis hadits yang berbeda dengan Al-Qur’an.
Hadits pada zaman Nabi belum sepenuhnya ditulis dan dibukukan. Bahkan zaman itu ada sabda Nabi yang melarang menuliskan dan membukukannya karena khawatir bercampur dengan Al-Qur’an. Akibatnya banyak orang menggunakan kesempatan untuk membuat hadits palsu. Setelah memasuki pembukuan hadits sekitar tahun 99-101 H umat Islam mengetahui dengan jelas bahwa yang ditulis dan dibukukan oleh para muhadisin banyak yang bukan hadits, banyak ditemukan percamouran antara sabda Nabi dengan perkataan sahabat. Akibatnya orang mulai ragu mana yang benar-benar hadits maupun yang dibuat, sehingga timbul berbagai penelitian tentang teks hadits. Untuk menetapkan sah atau tidaknya suatu hadits para ahli hadits menempuh dua cara, yaitu:
1.         Melihat sanadnya, yaitu orang yang meriwayatkan hadits.
Dari segi sanad mereka menilai para periwayat hadits. Misalnya, apa periwayat itu terpercaya, adil, dan terkenal mengenai kebenaran riwayatnya, atau orang tersebut justru terkenal sebagai pendusta dan pemalsu hadits. Dari sudut ini, timbul ilmu baru dalam disiplin ilmu hadits yang dikenal dengan ilmu tentang cacat atau adanya periwayat. Disamping itu mereka menilai bersambung atau tidaknya hadits pada Nabi Muhammad SAW.
2.         Melihat dari segi matannya, yaitu teks hadits itu sendiri.
Dari segi matan, misalnya teks hadits itu diterima sebagai hujah karena shahih atau hadits hasan, atau teks hadits ditolak karena ternyata isinya bertentangan dengan Al-Qur’an, hadits lain atau akal sehat.
Kriteria hadits shahih, antara lain: sanadnya bersambung, seluruh periwayat dalam sanad bersifat adil, dhobit, terhindar dari syudzudz, dan terhindar ‘ilat. Periwayat yang kurang kuat ingatanyya (kurang satu kriteria dari shahih)  di sebut sebagai hadits hasan, sebaliknya periwayat hadist yang pendusta haditsnya tertolak.[13]
Contoh salah satu hadist Nabi SAW yang akan kita teliti untuk mengetahui tingkat validitasnya terutama dari segi sanadnya yang di tempuh dengan menggunakan metode takhrij (penelitian ulang), sebagai berikut:
من صام يوما فى سبيل الله زحزح الله وجهه عن النار بذالك سبعين خريفا"

Metode takhrij terhadap hadits ini di laksanakan dengan proses sebagai berikut:
a.       Matan dan transmisinya
Hadits tersebut dapat ditemukan melalui Mu’jam al-Mufabras li al-fadz al-hadits dengan penjelasan hadits tersebut terdapat dalam Musnad Ahmad bin Hanbal juz 2 hal 300. Matan dan perawi hadits tersebut adalah Abi Hurairah, Abu Shalih, Suhail bin Abi Shalih, Anas bin ‘Iyad, dan Ahmad bin Hanbal.
b.      Kandungan hadits
Untuk mengetahui kandungan haditsnya, perlu dipahami lebih dahulu yang di maksud dengan fi sabilillah.
Abd. Rahman mengetengahkan bahwa secara umum yakni ketaatan kepada Allah dan mengharap ridla-Nya.jadi maksud hadits tersebut ialah barangsiapa melaksanakan puasa suatu hari kkarena taat kepada Allah atau ketaatan mencari ridlo-Nya, maka orang tersebut berkat puasanya akan dijauhkan dari neraka sejauh perjalana tujuh puluh tahun.
c.       Mengenal perawi hadits
Perawi hadits diatas ialah Abi Hurairah (w. 59 H), Abu Shalih (w. 101 H), Suhail bin Abi Shalih (w. 140 H), Anas bin ‘Iyad (w. 185/200 H), dan Ahmad bin Hanbal (w. 164/241 H).
Setelah melihat matan, kandungan isi, dan penilaian terhadap para perawi hadits diatas dapat dinilai dari beberapa sudut, diantaranya:
a.       Dari sudut kredibilitas para perawi, hadits tersebut tergolong hadits ahad masyhur, sebab pada tingkat sahabat terdapat perawi yaitu Abu Hurrairah dan diikuti oleh beberapa perawi.
b.      Dari sudut ke-muttashilan sanad yaitu ittishal sanad (sanadnya bersambung)
c.       Dari sudut periwayatan yaitu riwayat bi al ma’na (secara makna) bukan lafazh
d.      Dari sudut nilai hadits tersebut adalah hadits shahih.[14]
BAB IV
ANALISIS
Dengan adanya pengajaran  hadits, peserta didik diharapkan mengerti akan ajaran Islam yang berhubungan dengan masalah yang dibicarakan terkait hadits. Jelasnya, pendidik memberi pengetahuan hadits kepada peserta didik yang mengarah kepada:
1.         Pemantapan membaca tanpa salah, sesuai dengan ketentuan membaca huruf arab dan nash, dan kemampuan menghafalnya dengan mudah.
2.         Kemampuan memahami isi bacaan dengan sempurna, memuaskan akal dan kemampuan menenangkan jiwa.
3.         Kemampuan menerapkan ajaran Islam dalam menyelesaikan problema kehidupan sehari-hari.
4.         Kemampuan memperbaiki tingkah laku peserta didik melalui metode pengajaran yang tepat.
5.         Dengan mengetahui status hadits peserta didik dapat menambah keyakinan atas kualitas dan keabsahan hadits  yang diterimanya, khususnya nilai kehujahan hadits.


[1] Chabib Thoha, Metodologi Pengajaran Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hal. 59.
[2] Syahrin Harahap, Metodologi Studi dan Penelitian Ilmu-ilmu Ushuluddin, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2002,    hal. 27.
[3] Chabib Thoha, Ibid, hal. 84.
[4] Ibid. Hal. 60.
[5] Atang Abd. Hakim, Metodologi Studi Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002, hal. 84.
[6] Moh. Shoim, Ulumul Hadits, Tulungagung: Pusat Penerbitan dan publikasi STAINTA, hal. 02.
[7] Aminuddin, Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi Umum, Bogor: Ghalia Indonesia, tt,  hal. 55.
[8] Chabib Thoha, Ibid, hal. 63.
[9] Aminuddin, Ibid, hal. 56.
[10] Chabib Thoha,  Ibid, hal. 74.

[12] Ibid, hal. 67.
[13] Ibid, hal. 79.
[14] Syahrin Harahap, Ibid, hal. 49.

No comments:

Post a Comment