Translate

Tuesday, October 1, 2013

Nikah menurut 4 mazhab



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Nikah dalam Islam bersifat kontraktual, artinya baik pengantin laki-laki ataupun perempuan itu dapat menetapkan syarat-syarat pernikahan. Ini mengisyaratkan bahwa perempuan bebas memutuskan apakah ia mau melakukan kontrak pernikahan atau tidak. Namun, secara tradisional perempuan tidak diperbolehkan merundingkan pernikahannya. Dia dinikahkan oleh walinya, yang pada umumnya oleh ayahnya, dan jika ayahnya tidak ada dapat diwalikan oleh kakek atau saudara laki-lakinya.
Namun, saat ini ada sebagian masyarakat yang  kurang mengerti dengan wali yang diwajibkan dalam pernikahan, sehingga ada banyak masalah yang mungkin berkecamuk dalam masyarakat sekarang ini. Atas kesempatan ini, kami sebagai penyusun makalah ini, berkesempatan mengupas permasalahan tenting nikah yang mungkin pada sebagian orang, pelaksanaan nikah itu mudah.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian Nikah menurut Empat Mazhab?
2.      Bagaimana perbedaan hukum, syarat dan rukunnya nikah antara empat mazhab tersebut?
3.      Apa saja perempuan-perempuan yang haram dinikahi dan bagaimana hukumnya menikahi mertua yang fasid itu?

C.    Tujuan Rumusan Masalah
1.      Dapat menjelaskan pengertian nikah antara satu mazhab dengan yang lainnya
2.      Dapat menerangkan perbedaan hukum, syarat dan rukun nikah antara satu mazhab dengan yang lainnya.
3.      Dapat menjelaskan perempuan-perempuan yang haram untuk dinikahi dan hukumnya menikahi mertua yang fasid.
D.    Batasan Masalah
Kami hanya membatasi rumusan masalah yang kami kaji hanya sekedar yang tertera pada rumusan masalah di atas.





























BAB II
PEMBAHASAN

A.    PERBEDAAN DEFINISI NIKAH MENURUT EMPAT MAZHAB
1.      Definisi nikah dalam mazhab Hanafi
Ulama dalam mazhab ini mendefinisikan nikah adalah sebagai akad yang berakibat pada “pemilikan” seks secara sengaja.
Yang dimaksud dalam pemilikan seks itu adalah kepemilikan laki-laki atas kelamin serta seluruh tubuh perempuan untuk dinikmati. Sudah tentu kepemilikan ini bukan bersifat hakiki, karena kepemilkan yang hakiki hanya ada pada Allah SWT.
2.      Definisi nikah dalam mazhab Maliki
Ulama dalam mazhab ini mendefinisikan nikah adalah sebagai akad untuk mendapatkan kenikmatan seksual dengan anak adam tanpa menyebutkan harga secara pasti sebelumnya.
Secara sederhana mazhab malikiyah mengatakan bahwa nikah adalah kepemilikan manfaat kelamin dan seluruh badan istri.
3.      Definisi nikah dalam mazhab Syafi’i
Ulama dalam mazhab ini mendefinisikan nikah adalah sebagai akad yang berdampak akibat kepemilikan seks.
Inti dari definisi ini adalah kepemilikan hak bagi laki-laki untuk mengambil manfaat seksual dari alat kelamin perempuan, sebagian ulama syafi’iyah berpendapat bahwa nikah adalah akad yang memperbolehkan seks, bukan akad atas kepemilikan seks.
4.      Definisi nikah dalam mazhab Hanbali
Ulama dalam mazhab ini tampak praktis dalam mendefinisikan pengertian dari nikah.
Menurut ulama Hanbaliyah, nikah adalah akad yang diucapkan dengan menggunakan kata ankah atau tazwij untuk kesenangan seksual.[1]
Sedangkan dalam Hukum Perkawinan Islam, definisi Nikah adalah melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan perempuan untuk menghalalkanhubungan kelamin antara dua belah pihak, dengan rasa sukarela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputu rasa kasih sayang.[2]

B.      HUKUM NIKAH SERTA RUKUN DAN SYARAT NIKAH
      Hukum asal nikah adalah mubah (boleh). Akan tetapi, hukum mubah ini bisa berubah menjadi salah satu dari empat hukum lain, yaitu: wajib, haram, sunnah, dan makruh, sesuai dengan kondisi seseorang yang akan melaksanakannya.  Ketentuan ini berdasarkan dalil-dalil berikut:
1.      Firman Allah swt dalam surat an-Nur ayat 32:
(#qßsÅ3Rr&ur 4yJ»tƒF{$# óOä3ZÏB tûüÅsÎ=»¢Á9$#ur ô`ÏB ö/ä.ÏŠ$t6Ïã öNà6ͬ!$tBÎ)ur                                      
Artinya : dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.[3]
Ø  LIMA HUKUM NIKAH
            Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa hukum asal nikah adalah mubah. Namun, hukum mubah ini bisa tetap mubah dan bisa pula berubah menjadi wajib, haram, sunnah dan makruh, sesuai dengan situasi serta kondisi. Namun, dalam hal ini, ada beberapa perbedaan pandangan diantara para ulama dalam memberikan syarat dan kriteria lima hukum nikah.
1.      Versi Imam Hanafi
a.      Wajib
Hukum nikah menjadi wajib apabila terpenuhi empat syarat, yaitu:
1.      Ada keyakinan terjadi zina apabila tidak menikah.
2.      Tidak mampu berpuasa, atau mampu akan tetapi puasanya tidak bisa menolak terjadinya zina.
3.      Tidak mampu memiliki budak perempuan (amal) sebagai ganti dari isteri.
4.      Mampu membayar mahar dan memberi nafkah.
b.      Sunnah Muakkadah
Hukum nikah akan menjadi sunnah muakkadah apabila terpenuhi syarat-syarat berikut:
1.      Ada keinginan menikah.
2.      Memiliki biaya untuk mahar dan mampu memberi nafkah.
3.      Mampu untuk ijma’
c.       Haram
Hukum nikah menjadi haram apabila berkeyakinan kalau setelah menikah akan memenuhi kebutuhan nafkah dengan jalan yang haram, seperti dengan berbuat dzalim pada orang lain.
d.      Makruh Tahrim
Hukum menikah menjadi makruh tahrim apabila setelah menikah ada kehawatiran akan mencari nafkah dengan jalan haram.
e.       Mubah
Hukum nikah menjadi mubah apabila tujuan menikah hanya ingin memenuhi kebutuhan syahwat saja, bukan karena hawatir akan melakukan zina.[4]
2.      Versi Imam Maliki
a.      Wajib
Hukum menikah menjadi wajib apabila memenuhi tiga syarat, yaitu:
1.      Hawatir melakukan zina
2.      Tidak mampu berpuasa atau mampu tapi puasanya tidak bisa mencegah terjadinya zina.
3.      Tidak mampu memiliki budak perempuan (amal) sebagai pengganti isteri dalam istimta’.
b.      Haram
Hukum menikah menjadi haram apabila tidak hawaatir zina dan tidak mampu memberi nafkah dari harta yang halal atau atau tidak mampu jima’, sementara isterinya tidak ridlo.
c.       Sunnah
Hukum menikah menjadi sunnah apabila tidak ingin untuk menikah dan ada kekhawatiran tidak mampu melaksanakan hal-hal yang wajib baginya.
d.      Mubah
Hukum menikah menjadi mubah apabila tidak ingin menikah dan tidak mengharap keturunan, sedangkan ia mampu menikah dan tetap bisa melakukan hal-hal sunnah.[5]
3.      Versi Imam Syafi’i
a.      Wajib
Hukum menikah menjadi wajib apabila:
1.      Ada biaya (mahar da nafkah)
2.      Hawatir berbuat zina bila tidak menikah.
b.      Haram
Hukum menikah menjadi haram apabila memiliki keyakinan bahwa dirinya tidak bisa untuk menjalankan kewajiban-kewajiban yang ada di dalam pernikahan.
c.       Sunnah
Hukumnya menikah menjadi sunnah apabila ada keinginan menikah dan ada biaya (mahar dan nafkah) dan mampu untuk melaksanakan hal-hal yang ada di dalam pernikahan.
d.      Makruh
Hukum menikah menjadi makruh apabila tidak ada keinginan untuk menikah, tidak ada biaya dan ia hawatir tidak bisa melaksanakan hal-hal yang ada dalam pernikahan.
e.       Mubah
Hukum menikah menjadi mubah apabila ia menikah hanya semata-mata menuruti keinginan syahwatnya saja.
4.      Versi Imam Hambali
a.      Wajib
Hukum menikah menjadi wajib aoabila ada kehawatiran berbuat zina bila tidak menikah, baik dia mampu menanggung biayanya (mahar dan nafkah) maupun tidak.
b.   Haram
Hukum menikah menjadi  haram apabila menikah di tempat yang sedang terjadi peperangan.
c.       Sunnah
Hukum nikah menjadi sunnah apabila seseorang berkeinginan menikah, dan juga ia tidak hawatir berzina andaikan tidak menikah.
d.      Mubah
Hukum menikah menjadi mubah apabila seseorang tidak berkeinginan menikah.[6]
Ø  RUKUN DAN SYARAT NIKAH
Rukun adalah sesuatu yang harus ada, dan juga merupakan bagian integral dari suatu ibadah ataupun mu’amalah.
Adapun syarat adalah sesuatu yang harus ada, tetapi tidak termasuk integral dari suatu ibadah ataupun mu’amalah, seperti adanya dua saksi dalam nikah menurut mazhab Hanafi. Berikut adalah rukun dan syarat nikah menurut madzahib al arba’ah.
·         Versi Imam Hanafi
-          Shighat (ijab dan qobul)
-          Wali
-          Pihak laki-laki
-          Pihak perempuan
-          Dua saksi
·         Versi Imam Maliki
-          Shighat (ijab dan qobul)
-          Wali
-          Pihak laki-laki
-          Pihak Perempuan
-          Mahar
-          Dua saksi
·         Versi Imam Syafi’i
-          Shighat (ijab dan qobul)
-          Wali
-          Pihak laki-laki
-          Pihak perempuan
-          Dua saksi
·         Versi Imam Hambali
-          Shighat (ijab dan qobul)
-          Wali
-          Pihak laki-laki dan pihak perempuan tertentu
-          Perempuan dan laki-laki saaling ridlo
-          Dua saksi.[7]

C.    MASALAH WANITA YANG TIDAK SAH UNTUK DINIKAHI DAN MERTUA DALAM NIKAH YANG FASID[8]
1.    Masalah Wanita yang Tidak Sah Untuk Dinikahi.
Telah menjadi hal yang maklum dalam khazanah ilmu fikih,bahwa diantara syarat nikah yang telah menjdai konsensus (kesepakatan) ulama adalah status perempuan yang akan dinikahi itu  harus single (belum bersuami), serta layak halal) untuk dinikahi,lantaran tidak ada sebab-sebab yang menjadikan haram untuk dinikahi. Secara umum, sebab yang menjadikan haram untuk menikah seseorang dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a.    Sebab yang berakibat pada haram untuk dinikahi untuk selamanya.
b.    Sebab yang berakibat haram secara temporer (haram dalam jangka waktu, sementara), yakni selama sebab itu  masih ada.
1.      Sebab yang mengharamkan untuk selamanya[9]
Sebab atau faktor yang berakibat pada  haram dinikahi untuk selamanya ada tiga:
·      Hubungan kerabat (qarãbah)
Perempuan yang haram untuk dinikahi karena hubungan kerabat ada empat:
Ø  Garis nasab orang tua, yakni ibu, nenek dan nasab di atasnya.
Ø  Garis nasab anak, yakni anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki atau perempuan, dan urutan nasab di bawahnya.
Ø  Anak dari ayah atau ibu, yaitu semua kerabat perempuan (sanak saudara), baik saudara kandung, saudara seayah atau seibu.
Ø  Anak dari kakek atau nenek, yakni paman dan bibi dari garis ayah atau dari garis ibu.
·      Hubungan mertua (mushãharah)
Perempuan yang haram dinikahi untuk selamanya karena hubungan mertua ada tiga:
Ø  Anak perempuan dari istri yang telah dijima’. Artinya ketika istri belum pernah dijima’, maka anak perempuan tersebut halal untuk dinikahi.
Ø  Orang tua istri dan urutan nasab di atasnya, yakni ibu mertua, nenek dan kerabat di atasnya, meskipun istri belum dijima’
Ø  Setiap perempuan yang pernah dinikahi dan pernah dijima’ oleh ayah.

·      Hubungan tunggal susuan
Seorang perempuan yang haram untuk dinikahi sebab tunggal susuan adalah setiap perempuan yang diharamkan sebab hubungan nasab.
2.      Sebab yang Mengharamkan Secara Temporer
Sebab atau faktor yang berakibat pada haram menikahi seorang wanita secara temporer, yakni dalam jangka waktu ketika sebab tersebut belum hilang, ada lima:
a.       Mahram, yakni andaikan dua perempuan bersaudara lain jenis, niscaya keduanya haram untung saling menikah. Seperti menikah dua perempuan atau lebih mengumpulkan antara ibu dan anak perempuannya dalam satu ikatan pernikahan.
b.      Masih menjadi budak. Artinya, tidak boleh seorang perempuan menikahi budaknya, atau seorang laki-laki menikahi budak perempuanya kecuali telah merdeka.
c.       Musyrik,artinya bagi seorang muslim tidak halal menikahi seorang perempuan non-muslim yang kitab sucinya bukan kitab samãwi sesuai dengan kriteria dalam ilmu fiqih.
d.      Perempuan yang telah ditalak tiga (ba’in), artinya seorang suami tidak boleh melanggengkan ikatan pernikahannya dengan seorang istri yang telah ditalak tiga, kecuali perempuan tadi telah dinikahi oleh laki-laki lain.
e.       Perempuan yang masih menjadi istri orang lain atau sedang menjalani masa iddah dari laki-laki lain.
2.    Mertua Dalam Nikah yang Fasid (Tidak Sah)[10]
Berikut ada beberapa pendapat dari ulama tentang hukum menikahi mertua dari sebuah pernikahan yang fasid:
a.       Versi Imam Hanafy.
Akibat dari sebuah akad pernikahan yang fasid dan istri belum dijima’ tidak menyebabkan haram untuk menikahi seorang mertua. Dengan demikian, ketika seorang laki-laki menikahi seorang perempuan akan tetapi akad nikahnya tidak sah, maka tidak haram bagi laki-laki tersebut untuk menikahi ibu perempuan yang ia nikahi dengan akad nikah yang fasid itu.
Hal-hal yang menyebabkan haramnya menikahi ibu mertua adalah:
·         Adanya akad nikah yang tidak sah
·         Bersetubuh baik dengan akad yang sah atau tidak
·         Memegang atau bersentuhan kulit
·         Seorang laki-laki melihat alat kelamin seorang perempuan dan sebaliknya.
b.      Versi Imam Maliki
Adanya sebuah akad pernikahan bisa menyebabkan keharaman menikahi seorang ibu mertua meskipun akad nikahnya rusak (fasid). Akad pernikahan yang rusak ada dua cara:
Ø  Kerusakan akad dengan standart yang disepakati ulama (mujma´ ‘alaih)
Ø  Kerusakan akad dengan standart yang tidak disepakati olama.
c.       Versi Imam Syafi’i
Salah satu hal yang bisa menyebabkan haram menikahi ibu mertua adalah sebuah akad nikah yang sah, meskipun belum terjadi jima’. Sedangkan akad nikah yang tidak sah bisa menetapkan haram menikahi ibu mertua  dengan syarat sudah terjadi jima’, meskipun melalui jalan belakang (lubang dubur)
d.      Versi Imam Hanbali
Faktor yang bisa menyebabkan haramnya menikahi ibu mertua adalah terjadinya akad nikah yang sah ataupun yang tidak sah. Dengan demikian, akad nikah secara mutlak bisa menyebabkan haramnya menikahi istri ayah (ibu tiri) dan seterusnya ke atas,begitu juga haram menikahi istri anak (menantu) dan seterusnya sampai ke bawah, dan ibu mertua anak (besan perempuan)


BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
1.      Pengertian nikah yaitu melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan perempuan untuk menghalalkanhubungan kelamin antara dua belah pihak, dengan rasa sukarela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputu rasa kasih sayang.
2.      Hukum, rukun dan syarat nikah
a.       Hukum nikah.
ü  Hukum nikah menurut mazhab hanafi
-          Wajib
-          Sunnah muakkadah
-          Haram
-          Makruh takrim
-          Mubah
ü  Versi Maliki
-          Wajib
-          Haram
-          Sunnah
-          Mubah
ü  Versi Syafi’i
-          Wajib
-          Sunnah
-          Haram
-          Makruh
-          Mubbah
ü  Versi Hambali
-          Wajib
-          Sunnah
-          Haram
-          Mubah
b.      Rukun dan syarat nikah
·           Versi Imam Hanafi
-          Shighat (ijab dan qobul)
-          Wali
-          Pihak laki-laki
-          Pihak perempuan
-          Dua saksi
·           Versi Imam Maliki
-          Shighat (ijab dan qobul)
-          Wali
-          Pihak laki-laki
-          Pihak Perempuan
-          Mahar
-          Dua saksi
·         Versi Imam Syafi’i
-          Shighat (ijab dan qobul)
-          Wali
-          Pihak laki-laki
-          Pihak perempuan
-          Dua saksi
·         Versi Imam Hambali
-          Shighat (ijab dan qobul)
-          Wali
-          Pihak laki-laki dan pihak perempuan tertentu
-          Perempuan dan laki-laki saaling ridlo
-          Dua saksi
3.      Masalah Wanita Yang Tidak Sah Untuk Dinikahi Dan Mertua Dalam Nikah Yang Fasid
a.       Masalah wanita yang tidak sah untuk dinikahi
Sebab yang menjadikan haram untuk menikah seseorang dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
-          Sebab yang berakibat pada haram untuk dinikahi untuk selamanya.
-          Sebab yang berakibat haram secara temporer (haram dalam jangka waktu, sementara), yakni selama sebab itu  masih ada.
b.      Mertua dalam nikah yang fasid
Akibat dari sebuah akad pernikahan yang fasid dan istri belum dijima’ tidak menyebabkan haram untuk menikahi seorang mertua. Dengan demikian, ketika seorang laki-laki menikahi seorang perempuan akan tetapi akad nikahnya tidak sah, maka tidak haram bagi laki-laki tersebut untuk menikahi ibu perempuan yang ia nikahi dengan akad nikah yang fasid itu.

B.     SARAN
Kami sebagai penyusun makalah ini menyarankan agar pembaca makalah ini lebih mengkaji atau mencari referensi yang relevan apabila dalam penulisan makalah ini kurang lengkap dalam menjelaskan masalah pernikahan.

C.    HARAPAN
Harapan kami sebagai penyusun makalah ini adalah semoga bermanfaat bagi pembaca yang budiman.













DAFTAR RUJUKAN


Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta : Liberty,1999)

Hasbi ash-Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqih Islam,(Jakarta : CV. Bulan Bintang)
Ponpes Al-Falah,Fiqih  Lintas Mazhab, Kediri,2 010



[2]Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan,(Yogyakarta :Liberty,1999)hal. 8
[3] Ponpes Al-Falah,Fiqih  Lintas Mazhab,Kediri,2010,hal.1-2.
[4] Ponpes...,Ibid,hal.5-6
[5]Ponpes.. Ibid,hal.6-7.
[6] Ibid,hal.8-9
[7] Ibid,hal.9-10.
[8]Ponpes..Ibid,hal.180
[9]Hasbi ash-Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqih Islam,(Jakarta : CV. Bulan Bintang), hal.249.
[10]http://anneheira.blogspot.com/ketentuan -dalam-acara-pernikahan-html.com/info-unik-seputar-nikah

6 comments:

  1. Permisi Numpang Promo
    Refiza Souvenir menyediakan berbagai macam souvenir tasbih cantik dan elegan untuk oleh-oleh haji dan umroh. cek katalog kami di www.refiza.com

    ReplyDelete
  2. Mohon maaf,setau saya imam hanafi membolehkan menikah tanpa adanya wali ? dan itu memang di lakukan di negara turki, apakah itu benar ?? Wallahu 'Alam bishowab

    ReplyDelete
  3. Benar sekali.itu.. saya juga pernag baca dlm kitab.. lintas madhab.. "الفقه على مذاهب ٲربعة

    ReplyDelete
  4. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  5. Mohon maaf ingin bertanya, sempat membaca dalam buku fikh untuk mazhab Hanafi, bahwa orang tua/wali non-muslim dapat menikahkan anaknya yang muslim, apakah dapat dipastikan?

    ReplyDelete